Sunday, October 18, 2015

HARI YANG INDAH UNTUK SEBUAH REVOLUSI: Sekilas tentang Anarkisme, Anarko-feminisme, dan Feminisme Radikal



Pada 11 November 1887 di sebuah kota di Amerika Serikat, empat orang pria berlangkah lambat di bawah kebisuan langit malam. Hanya suara mereka yang melantunkan lagu kebangsaan Perancis…lagu yang menjadi simbol revolusi masa itu…yang mengusik kesunyian malam. Mereka terus berjalan sambil bernyanyi, mengangkat kaki langkah demi langkah, menelusuri jalan menuju tiang gantungan. Sesampainya di tempat di mana mereka akan dieksekusi, masyarakat sudah menunggu untuk menyaksikan hukuman mati yang mungkin paling bersejarah sepanjang abad itu.


It’s a nice day for a revolution…slogan inilah yang kemudian diusung kaum anarkis abad 21 ketika mereka turun ke jalan, memenuhi jalan-jalan raya, memakai topeng pria tersenyum lebar dengan kumis tipis panjang. Topeng Guy Fawkes yang ditampilkan dalam komik V for Vendetta menjadi identitas global gerakan anarkisme internasional.

Anarkisme merupakan filsafat politik yang menentang otoritas, hierarki, dan kapitalisme, serta yang ingin mencapai sebuah masyarakat bebas (free society) dan dunia tanpa negara (stateless society). Filsafat anarkis ini dapat ditemukan asal-usulnya dari filsafat Taoisme dan ada yang berpendapat bahwa gagasan-gagasan anarkis juga ditemukan dalam sejarah berberapa agama besar. Beberapa pemikir yang dihubungkan dengan filsafat anarkisme adalah Pierre-Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, William Godwin, dan Peter Kropotkin.

spacesofhope.org
Salah satu peristiwa bersejarah yang terkait erat dengan gerakan anarkisme adalah Kerusuhan Haymarket yang terjadi pada 4 Mei malam hari di kota Chicago, Amerika Serikat pada  tahun 1886, ketika kaum buruh melakukan unjuk rasa untuk mengangkat isu peraturan 8 jam kerja yang belum diimplementasikan. Unjuk rasa ini awalnya berlangsung damai di bawah rintik-rintik hujan meski dipenuhi oleh orasi yang berapi-api. Tak disangka bahwa dalam  sekejap semuanya dapat berubah menjadi kaos di kegelapan malam ketika seseorang tak dikenal melemparkan bom-dinamit rakitan terhadap seorang polisi yang sedang menghampiri massa.  Pada 11 November tahun berikutnya, setelah sebuah pengadilan rekayasa digulirkan, empat anarkis dihukum mati—meski tanpa bukti kuat. Vonis yang kontroversial ini menandai salah satu masa paling kelam dalam sejarah pengadilan Amerika Serikat. Tak diduga, peristiwa ini memiliki dampak internasional yang amat besar. Hari Buruh Sedunia 1 Mei atau yang dikenal sebagai May Day merupakan peringatan atas perjuangan memperoleh 8 jam kerja dan Kerusuhan Haymarket serta rangkaian peristiwa terkait yang mengorbankan nyawa para martir anarkis Amerika.


Perlawanan terhadap Negara/Patriarkat

Hukuman mati terhadap para anarkis pada 1887 ini membuka mata dan mengobarkan semangat aktivisme para anarkis lainnya, termasuk kaum anarkis perempuan—seperti Emma Goldman dan Voltairine de Cleyre—yang kemudian mengembangkan anarkisme yang melihat perempuan sebagai kelompok tertindas. Mereka tidak saja memasukkan kebebasan dan kesetaraan kaum perempuan ke dalam agenda anarkisme, mereka juga mengkritik kaum anarkis laki-laki yang dalam kehidupan pribadinya tidak memperlakukan perempuan dengan adil. Kaum anarkis perempuan menegakkan “the personal is political” di dalam pemikiran dan praktik anarkisme.

Goldman merupakan sosok anarkis yang sangat terkenal dan kerap disebut sebagai pendiri feminisme anarkis atau yang disebut juga anarko-feminisme. Aliran ini melihat bahwa perlawanan terhadap sistem patriarkat bukan saja sebagai perlawanan terhadap seksisme, melainkan juga merupakan bagian dari perjuangan kelas serta perjuangan melawan rasisme dan menghapuskan negara. Goldman juga merupakan anarkis pertama yang mendukung pengakuan terhadap homoseksualitas, gagasan yang turut mendukung berkembangnya gerakan queer anarchism. Goldman mengelola jurnal Mother Earth (1906–1917) yang merupakan corong bagi pemikiran-pemikiran anarkis masa itu dan menulis buku Anarchism and Other Essays (1910).

Kekuasaan dan negara merupakan isu sentral bagi kaum anarkis, termasuk kaum anarko-feminis. Paradigma ini mirip dengan pandangan aliran feminisme radikal yang melihat baik kekuasaan maupun kekuasaan negara sebagai sumber opresi perempuan. Keduanya melihat negara sebagai manifestasi dari kekuasaan, namun bagi feminisme radikal hal ini lebih dijelaskan lagi sebagai manifestasi kekuasaan patriarkat. Bagi feminisme radikal, negara dan partriarkat merupakan dua sisi dari mata uang logam yang sama. Feminisme radikal dan anarko-feminisme menanggap bahwa patriarkat diinstitusionalisasikan melalui negara; artinya menghancurkan negara sama dengan menghancurkan patriarkat, melawan negara berarti melawan sistem patriarkat.

Kebebasan manusia merupakan isu sentral lainnya dalam anarkisme yang mencakup kebebasan individual, kebebasan dari kekerasaan, penindasan, dan keterpaksaan–isu-isu yang juga mengambil perhatian feminisme radikal.

Dalam utopianisme kaum anarkis secara umum, setelah negara berhasil dihapuskan, tidak akan muncul sebuah kelompok elit baru yang berkuasa. Dalam hal ini, anarkisme memiliki titik temu dengan feminisme radikal karena keduanya memandang bahwa sosialisme dan Marxisme akan menciptakan bentuk otoritas baru dan komunisme yang dipaksakan. Namun, ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni untuk mencapai tujuannya, kaum anarkis tidak akan bekerja sama dengan negara, sementara sebagian feminis radikal dalam batas-batas tertentu menggunakan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Karena sikap anarkisme yang anti-advokasi, menolak melobi, bernegosiasi, dan bekerja sama dengan pihak negara, maka ia menentang gerakan feminisme liberal yang strateginya berfokus pada hal-hal ini. Goldman dan De Cleyre jelas-jelas menunjukkan sikap mereka yang mendukung kesetaraan jenis kelamin, tetapi menentang gerakan kaum suffragist yang mengadvokasi hak pilih kaum perempuan. 

anonymousartofrevolution.com
Meski secara umum dikenal dua aliran utama dalam anarkisme, yakni anarkisme individualis dan anarkisme sosial, anarkisme sebenarnya terdiri dari berbagai aliran dengan beberapa tujuan dan strategi yang berbeda. Persamaan yang dimiliki antara berbagai aliran ini adalah sikap yang antiotoritas dan antinegara serta menjunjung tinggi kebebasan individual dan kooperasi. Persamaan lainnya adalah strategi yang menggunakan aksi langsung dengan pengembangan gerakan yang nonhierarki dan menjangkau akar rumput, seperti kaum pekerja dan petani. Visi masyarakat yang mereka anut adalah masyarakat yang bebas, egaliter, dan tanpa negara. Beragam aliran yang ada juga mendukung sistem perekonomian yang berbeda, seperti sistem yang ingin membangun perbankan alternatif atau sistem ekonomi yang partispatoris, dan yang ingin menghapus kepemilikan pribadi. Asas sukarela dan kebebasan berorganisasi dan berkreasi serta kontrol masyarakat terhadap institusi ekonomi yang terdesentralisasi merupakan ciri-ciri utama sistem ekonomi anarkis.

Dalam perkembangannya, anarkisme kerap dilekatkan pada isme-isme lain seperti komunisme, libertarianisme, dan feminisme. Hal ini melahirkan gerakan anarkisme tanpa adjektiva. De Cleyre, yang menulis esai Sex Slavery  (1895) dan They Who Marry Do Ill (1907)—karya-karya yang merupakan kritik keras terhadap institusi perkawinan dan relasi gender—terkenal sebagai pendukung anarkisme tanpa adjektiva. Ia menyebut dirinya sebagai penganut anarkisme semata.


Isu-isu dalam Anarkisme Kontemporer

Dalam sejarah, praksis anarkisme ditemukan dalam masyarakat-masyarakat seperti the Paris Commune pada 1871 dan beberapa daerah di Spanyol ketika Revolusi Spanyol pada 1936.  Di luar Amerika dan Eropa, gerakan-gerakan anarkisme juga berkembang, seperti di Afrika. Di beberapa negara Asia pada abad 19 dan 20, seperti di Jepang, Korea, Cina, dan Vietnam terdapat gerakan-gerakan anarkisme yang akhirnya ditumpaskan oleh pemerintah.

Dalam perkembangan anarkisme, kekerasan merupakan metode yang dikenal digunakan para anarkis sebagai strategi untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Namun, setelah Perang Dunia Kedua, strategi ini cenderung ditinggalkan. Isu-isu seputar strategi masih menjadi perdebatan dalam anarkisme kontemporer.

Salah satu kritik utama terhadap anarkisme adalah adanya kesenjangan antara pemikiran dan strategi. Strategi memang merupakan perdebatan di dalam kubu anarkisme sendiri. Ada yang menganggap anarkisme kini lebih bergelut pada gaya hidup dan pilihan hidup yang tidak mau terlibat dengan institusi-institusi negara sehingga strategi-strategi politik untuk mencapai tujuan gerakan tidak berkembang. Salah satu perdebatan adalah keikutsertaan anarkis dalam pemilihan wakil-wakil negara. Mereka yang ingin setia pada anarkisme menganggap keterlibatan dalam kegiatan politik negara adalah pengingkaran terhadap politik anarkisme, sedangkan sebagian lain menganggap hal ini sebagai taktik politik. Selain itu, muncul kritik bahwa anarkisme yang berkembang saat ini mengabaikan negara sebagai musuh yang harus dilumpuhkan dan hanya berfokus pada capaian-capaian jangka pendek.

Pada tahun 1980-an, terutama di beberapa negara Barat, anarkisme menjadi bagian dari budaya pop, seni, dan musik punk, serta menjadi gaya hidup yang menentang pemerintah dan kapitalisme. Di Indonesia, pada akhir 1990-an punk kerap dikaitkan dengan gerakan anarkisme. Sebagai aktivisme politik, beberapa sumber media mengatakan bahwa di Indonesia dapat ditemui jejaring-jejaring anarkisme baik dalam negeri maupun yang berskala internasional.

Diskusi-diskusi yang selanjutnya berkembang mengenai anarkisme berkisar pada posanarkisme atau anarkisme modern yang menekankan pada pluralitas dan mengkritik eurosentrisme yang selama ini menyokong anarkisme. Anarkisme juga telah berkembang menjadi berbagai filsafat dan gerakan baru, seperti green anarchism  (eco-anarchism) yang berfokus pada isu lingkungan, anarcho-pacifism yang menentang penggunaan kekerasan dalam upaya pencapaian perubahan sosial, dan post-left wing anarchism yang membangun kritik terhadap hubungan anarkisme dengan politik sayap kiri.


‘Revolusi’ sebagai Praksis

fromupnorth.com
Meski ada beberapa filsafat yang mendasari anarkisme, tetapi pada prinsipnya anarkisme antiteori besar dan antidoktrin sehingga tidak memiliki konsep dan strategi yang lebih sistematis untuk mendorong sebuah revolusi. Ketika turun ke jalan pun, para anarkis sejati tidak menyampaikan tuntutan apa pun kepada negara karena menuntut berarti sama saja bersedia bernegosiasi dengan negara.

Namun, sebagian anarkis melihat anarkisme sebagai bagian dari praktik kehidupan sehari-hari dan bahwa melalui perlawanan atau rebellion, dapat dicapai revolusi-revolusi kecil yang mengarah pada kemajuan gerakan. Melalui counter-culture, pengembangan institusi alternatif, dan penjangkauan kepada masyarakat akar rumput, diasumsuikan anarkisme akan berkembang menjadi bagian dari kehidupan dan praksis politik sehari-hari individu. Asumsi ini, yang terutama dianut oleh kaum anarkis individualis, menunjukkan sisi reformis dari anarkisme. Bagi kaum feminis radikal dan juga para anarko-feminis, agenda para anarkis ini akan menguatkan upaya untuk melenyapkan opresi berbasis kekuasaan gender dan praktik-praktik seksual masyarakat yang opresif…. Memang hari yang indah untuk sebuah revolusi (seksual).


.
Referensi

Anarchist Writers (2008) A.3 What types of anarchism are there? [dalam jaringan]  <http://anarchism.pageabode.com/afaq/secA3.html> [30 Agustus 2015].



Berger, Dominic (2013) Indonesia’s new anarchists.’ Inside Indonesia 113: Jul–Sep 2013 [dalam jaringan]  <http://www.insideindonesia.org/indonesia-s-new-anarchists> [30 Agustus 2015].


Campbell, Michelle M. (2013) ‘Voltairine de Cleyre and the Anarchist.’ Blasting the Canon Anarchist Developments in Cultural Studies [dalam jaringan] <http://anarchist-developments.org/index.php/adcs_journal/article/view/56/59> [31 Agustus 2015].


Ehrlich, Howard J. (1994) Toward a General Theory of Anarchafeminism.’  Social Anarchism No. 19 [dalam jaringan] <http://library.nothingness.org/articles/SA/en/display/358> [30 Agustus 2015].


Evern, Surëyyya  (2006) Postanarchism and the ’3rd world’ [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/sureyyya-evren-postanarchism-and-the-3rd-world> [19 September 2015].

Gemie, Sharif (1996) ‘Anarchism and Feminism: A Historical Survey.’ Women's
History Review 5:3, 417-444 [dalam jaringan] <http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/09612029600200123> [30 Agustus 2015].

Kerl, Eric  (2010) ‘Contemporary Anarchism.’ International Socialist Review Issue 72 [dalam jaringan] <http://isreview.org/issue/72/contemporary-anarchism> [19 September 2015].

Maddock, Kenneth (1996) ‘Pluralism and Anarchism.’ Red and Black No. 2 [dalam jaringan] <http://theanarchistlibrary.org/library/kenneth-maddock-pluralism-and-anarchism> [19 September 2015].

Maiguashca, Bice (2014) ‘‘They’re Talkin’ Bout a Revolution’: Feminism, Anarchism and the Politics of Social Change in the Global Justice Movement.’ Feminist Review [dalam jaringan] <Feminist Review (2014) 106, 78–94. doi:10.1057/fr.2013.36‘they’re talkin’ bout a revolution’: feminism, anarchism and the politics of social change in the global justice movementBice Maiguashca> [30 Agustus 2015].

Presley, Sharon (2000) ‘No Authority But Oneself: The Anarchist Feminist Philosophy of Autonomy and Freedom.’ Social Anarchism No. 27 [dalam jaringan] <http://library.nothingness.org/articles/SI/fr/display/338> [16 Agustus 2015]. 



 

Sumber Lainnya:

Anarchism, Wikipedia
Anarchist Economics, Wikipedia
Haymarket Affair, Wikipedia

No comments:

Post a Comment