Sunday, December 27, 2015

HILLARY CLINTON, BEYONCE, DAN FEMINISME: Tuntutan Generasi Milenium terhadap Keadilan Sosial




Saya ingin menegakkan perlindungan terhadap “women’s rights, gay rights, and… voting rights” serta melindungi “the struggling middle-class”, ungkap Hillary Clinton Oktober lalu, saat diwawancarai pada The Late Show, sebuah talk show malam yang ditayangkan di AS. Apakah pernyataan ini akan mengubah citra Clinton dan menjaring lebih banyak pemilih?

Pasalnya, selama karier politiknya, pendirian Clinton terkait hak-hak perempuan dan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dianggap kurang tegas dan ambivalen oleh sebagian masyarakat AS. Bahkan kefeminisan Clinton sendiri kini sedang dipertanyakan oleh konstituen perempuan AS.

Keraguan terhadap Clinton

Keraguan terhadap Clinton tidak berubah meski dalam kampanyenya Clinton mengangkat isu-isu tentang hak perempuan atas upah yang sama, hak atas aborsi, dan pendidikan anak usia dini. Clinton menggelar inisiatif-inisiatif ekonomi yang disebut beberapa media sebagai inisiatif ekonomi properempuan, yakni cuti melahirkan yang dibayar, pengaturan waktu kerja yang lebih bersahabat terhadap ibu, dan tempat penitipan anak yang lebih terjangkau harganya.

Feminis milenium Amerika ingin perubahan yang lebih radikal daripada yang ditawarkan Clinton (Foto Hillary Clinton: www.kirramagazine.com)
Clinton bahkan mendukung peningkatan upah minimum yang ia anggap akan membantu banyak perempuan, termasuk perempuan orang tua tunggal, yang biasanya sangat rentan terperosok ke dalam kemiskinan. Hal ini bertentangan dengan persepsi umum terhadap Clinton yang selama ini memandangnya kurang memperhatikan kondisi perempuan miskin.

Masalahnya, masih banyak perempuan Amerika berpendapat bahwa Clinton belum keluar dari perspektif feminisme gelombang kedua. Perspektif ini dikritik hanya memperjuangkan hak-hak perempuan dari sudut pandang kaum perempuan kelas menengah terpelajar–yang di AS mayoritas adalah dari keluarga kulit putih. 

Banyak juga yang mengecap Clinton sebagai seorang ‘corporate feminist’. Kebijakan-kebijakannya dipandang mengabaikan opresi yang bersifat sistematis dan lintas kelompok sosial-ekonomi, serta hanya menguntungkan kalangan perempuan yang memang sudah relatif baik posisinya. 

Pandangan tersebut menumbuhkan keraguan terhadap kepemimpinan Clinton, terutama pada perempuan-perempuan muda AS. Menurut mereka, feminisme modern sudah banyak meninggalkan perspektif lama yang dikembangkan feminisme gelombang kedua yang bias kelas menengah dan kulit putih. 

Generasi perempuan muda Amerika menginginkan pemimpin perempuan yang merepresentasikan pluralitas. Bagi mereka, feminisme bukan saja menyangkut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi mencakup perjuangan melawan ketidakadilan sosial dan kemiskinan, serta perjuangan menegakkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan.

Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme gelombang kedua ditandai oleh meluasnya gerakan feminisme liberal di AS dan negara-negara Eropa Barat pada era 1960-an–1970-an. Gerakan ini memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan di pelbagai bidang kehidupan–baik di domain publik maupun privat–terutama melalui pembaruan hukum. 

Feminisme liberal mendorong perbaikan sistem ekonomi dan politik dengan menggunakan strategi protes dan lobi negara, di samping mendukung ditempatkannya perempuan-perempuan yang dianggap tepat pada posisi-posisi strategis di pemerintahan. Pemikiran feminisme liberal menekankan pada kebebasan individu, otonomi perempuan, dan kontrol perempuan terhadap tubuhnya sendiri, yang semuanya dipandang dapat diraih di bawah reformasi sistem negara.

Fokus utama feminisme liberal adalah pada menegakkan hak perempuan yang dilakukan melalui pembaruan hukum, tetapi tidak disertai kampanye yang cukup kuat untuk mengubah kondisi di domain privat (Foto Betty Friedan: www.nwhm.org)
Era gerakan feminisme ini sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan feminis AS seperti Betty Friedan (Feminine Mystic, 1963) dan Gloria Steinem (After Black Power, Women’s Liberation, 1969) yang membangkitkan kesadaran masyarakat tentang diskriminasi terhadap perempuan di domain publik. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran feminis liberal menghadirkan pencerahan yang luar biasa dahsyat, terutama di tengah-tengah era demokrasi masyarakat Amerika ketika itu. Banyak perubahan yang meningkatkan status perempuan setelah era 1960-an yang merupakan hasil jerih payah kaum feminis liberal. 

Meski demikian, kritik keras tidak hanya datang dari gerakan kiri, tetapi juga dari aliran gerakan feminisme lainnya. Seperti yang sudah disinggung di atas, aliran ini dipandang lebih menyuarakan kepentingan perempuan kelas menengah kulit putih. Oleh karena itu, ia tidak akan banyak memengaruhi upaya pembebasan perempuan pekerja atau kelas bawah yang memang dari dulu sudah aktif bergelut di domain publik pada posisi-posisi kerja yang buruk—bekerja mencari nafkah untuk menyambung hidup dan bukan karena pilihan hidup.

Pemisahan dua wilayah kehidupan menjadi publik (kehidupan sosial dan politik) dan privat (kehidupan keluarga dan pribadi) melandasi baik doktrin liberal maupun filsafat hukum AS. Pemisahan ini–yang disokong oleh sebuah model tradisional pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin–dikritik feminsime liberal sebagai hal yang mengaburkan ketidaksetaraan gender di bawah asumsi-asumsi mengenai apa yang dipandang alamiah dan logis.

Dikotomi tersebut tidak mengakui adanya hubungan kekuasaan dalam relasi gender dan menutup mata terhadap diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, dan beban kerja domestik perempuan. 

Fokus utama aliran feminisme liberal untuk mengubah kondisi tersebut adalah dengan memberikan perempuan hak yang sama untuk berpartisipasi di domain publik dan dengan melakukan pembaruan-pembaruan hukum untuk melindungi hak perempuan. Namun, upaya ini tidak disertai kampanye yang cukup kuat untuk mengubah kondisi di domain privat. Dampaknya adalah beban ganda bagi perempuan kelas menengah dan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang tetap tinggi, di samping tidak banyak perubahan kondisi hidup bagi perempuan pekerja dan miskin. 

Agenda politik yang lebih banyak memfokus pada kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki di bawah sistem ekonomi liberal-kapitalis nyatanya tidak dapat menjangkau kepentingan kelompok miskin dan mereka yang terpinggirkan.

Beyonce: Feminisme menjadi Mainstream

Meski adanya berbagai isu di atas, keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai feminisme liberal telah membawa feminisme dari sebuah demonstrasi di jalanan menjadi isu yang disorot media secara luas, hingga memasuki ruang privat rumah tangga-rumah tangga masyarakat Amerika. Dapat dikatakan, istilah feminisme mulai memasuki mainstream masyarakat Amerika. 

Bukan saja tokoh politik perempuan seperti Hillary Clinton yang mengaku sebagai feminis, ikon-ikon perempuan, seperti bintang film atau penyanyi–dengan interpretasinya terhadap feminisme–kini menyebut dirinya sebagai feminis. Hal yang telah menyulut kontroversi belum lama ini adalah pengakuan bintang pop kulit hitam, Beyonce, bahwa dirinya adalah seorang feminis. 

Seksualitas dan kekuasaan menjadi isu yang ramai diperbincangkan di media setelah Beyonce berdiri di atas panggung menampilkan bayangan lekuk tubuhnya dengan tulisan FEMINIST sebagai latar belakang. “Apakah mempertontonkan tubuh dengan pakaian yang minim dan gerakan sensual merupakan hal yang feminis?” “Tetapi, Beyonce memilki kendali atas tubuhnya sendiri dan, bagai seorang dewi, dia mencitrakan keberdayaaan seorang perempuan.” “Apa iya Beyonce patut disebut feminis?” “Apakah aksi di panggung tersebut hanyalah strategi marketing?” Begitu kira-kira tanggapan yang muncul di berbagai media. 
Kecantikan, keelokan tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan (Foto Beyonce: www.eurweb.com)

Memang harus diakui, tidak ada definisi tunggal terhadap feminisme. Oleh karena itu, menarik untuk mengamati bahwa (re)interpetasi berbagai ikon perempuan Amerika terhadap feminisme liberal tampaknya memberi pembenaran terhadap objektivikasi tubuh perempuan. Kecantikan tubuh menjadi bagian dari identitas perempuan yang berdaya. Kecantikan, keelokan tubuh, dan kekayaan menjadi sumber keberdayaan—hal yang sebenarnya pertama kali dilawan oleh feminisme sebagai gerakan. 

Unjuk kecantikan tubuh yang diterjemahkan sebagai kekuatan, keberdayaan, dan kendali memang mengundang banyak kontroversi karena apa yang didefiniskan sebagai cantik selama ini masih banyak ditentukan oleh persepsi laki-laki. Apakah penghargaan dan sanjungan yang sama akan diperoleh bila aksi panggung tersebut dilakukan oleh seorang perempuan yang dipandang gemuk dan tidak ‘cantik’?

Di luar masalah penampilan fisik, sejalan dengan pandangan liberalisme, gagasan yang berkembang tentang pemberdayaan dan kesetaraan perempuan tampaknya sangat menekankan pada elemen individu sebagai agen perubahan. Walaupun hal ini sangat baik, ia mengalihkan perhatian dari faktor-faktor signifikan lainnya terkait struktur masyarakat dan sistem ekonomi yang menghalangi kemajuan perempuan. Pesan para artis yang mewacanakan bahwa dengan motivasi dan usaha seseorang bisa berhasil menggapai impiannya, sayangnya bisa menyesatkan. 

Meski ada saja kasus khusus, pada umumnya perjuangan individual akan lebih mudah dicapai oleh mereka yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang membuka peluang dan memudahkan akses terhadap modal sosial dan kapital. Berarti, perjuangan individual tersebut akan lebih mungkin dimenangkan oleh mereka yang memiliki akses tadi dan oleh karena itu, perjuangan semacam ini sebenarnya merupakan impian yang mengeksklusikan sebagian besar masyarakat, seperti kaum perempuan pekerja dan miskin. Masyarakat jadi lebih menyukai cerita perjuangan ‘from rags to riches’ daripada memikirkan sebuah perjuangan kolektif untuk mengubah sistem yang ada.

Tuntutan Generasi Milenium

Tak bisa dipungkiri, Beyonce adalah inspirasi bagi generasi perempuan muda, terutama bagi perempuan nonkulit putih, mengingat perjuangannya untuk mencapai kesuksesan dalam industri musik Amerika yang masih seksis dan rasis. Namun, di tengah-tengah berkembangnya wacana feminisme liberal yang disebarkan ikon-ikon pop kepada kaum muda melalui TV dan media sosial, secara bersamaan terdapat kelompok generasi milenium Amerika yang melihat pemberdayaan perempuan dengan lebih kritis. 

Mereka tampaknya meyakini sebuah feminisme dengan perspektif yang lebih peka terhadap pentingnya pluralisme serta menyadari bahwa ketidakadilan sosial di bawah demokrasi-liberal selama ini telah menciptakan kesenjangan di pelbagai bidang kehidupan.

Kembali kepada Hillary Clinton, oleh kaum liberal, Clinton malah disebut neokonservatif karena kebijakan-kebijakannya tidak secara konsisten memperjuangkan keadilan gender. Pandangan ini muncul kuat meski Clinton mengklaim bahwa kebijakan-kebijakannya pada masa ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS merupakan kebijakan feminis. 

Meski Clinton sepertinya telah berhasil membawa feminisme ke dalam mainstream politik Amerika, sebagian perempuan muda Amerika tetap menilai bahwa bila Clinton menjabat sebagai presiden, pendekatan-pendekatannya akan cenderung konservatif. Mereka tidak percaya bahwa Clinton akan bisa membawa perubahan-perubahan yang mereka inginkan. Mungkin ini karena terdapat generasi muda Amerika yang telah memahami feminisme secara berbeda, melampaui gagasan-gagasan yang dikembangkan feminisme liberal, apalagi wacana mainstream tentang feminisme. 

Kelompok muda tersebutlah yang menginginkan sebuah pendekatan lebih radikal daripada yang ditawarkan oleh Clinton. Namun, yang merupakan pertanyaan penting–bagaimana generasi milenium ini akan menempatkan pendekatan yang lebih radikal tersebut di dalam konteks politik dan ekonomi AS? Sejarah akan menjadi saksi….

Sumber

Alter, Charlotte (2015) ‘Meet the Women Who Say There’s a Better Feminist in the Race Than Hillary Clinton.’ Time [dalam jaringan] <http://time.com/4107286/hillary-clinton-bernie-sanders-women-new-hampshire-2016/> [28 November 2015].

Asaro, Andrea (1983) ‘The Public Private Distinction in American Liberal Thought: Unger’s Critique and Synthesis.’ American Journal of Jurisprudence Vol. 28 (1), Article 6 [dalam jaringan] <http://scholarship.law.nd.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1317&context=ajj> [28 November 2015].

Bunting, Madeleine (2011) Clinton is Proving that a Feminist Foreign Policy is Possible–and Works [dalam jaringan] <http://www.theguardian.com/commentisfree/cifamerica/2011/jan/16/hillary-clinton-feminist-foreign-policy> [28 November 2015].

Crocer, Lizzie (2015) ‘Why Millennial Feminists Don’t Like Hillary.’ The Daily Beast [dalam jaringan] <http://www.thedailybeast.com/articles/2015/10/05/why-millennial-feminists-don-t-like-hillary.html> [28 November 2015].

Higgins, Tracy E. (2004) ‘Gender, Why Feminists Can’t (or Shouldn’t be) Liberals’. Fordham Law Review Vol. 72 (5), Article 12 <http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3966&context=flr> [28 November 2015].

Hobson, Janell (2015) ‘Beyonce’s Fierce Feminism.’ Ms.blog Magazine <http://msmagazine.com/blog/2015/03/07/beyonces-fierce-feminism/> [10 Desember 2015].

Hubbard, Adrienne (2015) ‘The Oxymoron that is Corporate Feminism.’ That Opinion [dalam jaringan] <http://thatopinion.com/corporate-feminism/> [10 Desember 2015].

Kearly, Kendyl (2015) 7 Feminist Aspects of Hillary Clintons Economic Plan that Would Change Everything for Women in America [dalam jaringan] <http://www.bustle.com/articles/96809-7-feminist-aspects-of-hillary-clintons-economic-plan-that-would-change-everything-for-women-in-america> [28 November 2015].

Mirhashem, Molly (2015) ‘What Young Feminists Think of Hillary Clinton.’ National Journal [dalam jaringan] <http://www.nationaljournal.com/s/27066/what-young-feminists-think-hillary-clinton> [28 November 2015].

The Guardian (2015) Hillary Clinton Likens GOP Candidates to Terrorists for 'Extreme' Views on Women [dalam jaringan] <http://www.theguardian.com/us-news/2015/aug/27/hillary-clinton-republicans-terrorists-women> [28 November 2015].

Tucker, Ken (2015) Hillary on 'Colbert': Talking 'House of Cards' Murders and Letting Banks Fail [dalam jaringan] <https://www.yahoo.com/tv/hillary-clinton-colbert-trump-111536246.html> [29 Oktober 2015].

Vagianos, Alanna (2015) ‘Why Beyoncé's Latest ‘Feminist’ Move Was So Problematic.’ Huffpost Women [dalam jaringan] <http://www.huffingtonpost.com/entry/why-beyonces-latest-feminist-move-was-so-problematic_55eee575e4b093be51bc05aa> [10 Desember 2015].

Vidal, Ava (2014) Intersectional Feminism: What the Hell is it and Why You Should Care [dalam jaringan] http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10572435/Intersectional-feminism.-What-the-hell-is-it-And-why-you-should-care.html [28 November 2015].

Worker’s Liberty (2011) Liberal Feminism: The Individual is Key [dalam jaringan] <http://www.workersliberty.org/story/2011/11/24/liberal-feminism-individual-key> [8 Desember 2015].

Young, Kevin and Diana C. Sierra Becerra (2015) ‘Hillary Clinton and Corporate Feminism.’ Solidarity [dalam jaringan] <http://www.solidarity-us.org/node/4390> [28 November 2015].

1 comment:

  1. Kalau aku sih, kasihlah Hillary Clinton kesempatan. Kapan lagi Amerika Serikat punya presiden perempuan. Masak lebih dari 300 tahun bernegara, laki-laki melulu yang jadi presiden?

    ReplyDelete