Sunday, January 15, 2017

POLITIK IDENTITAS, MULTIKULTURALISME, DAN SUPREMASI: Pengamatan terhadap Amerika Serikat dan Indonesia






Identity Politics, Multiculturalism, and Supremacy
In the US and Indonesia





Politik identitas sepertinya menjadi buzzword di media internasional sejak kemenangan Donald Trump sebagai presiden di Amerika Serikat, seseorang yang disebut sebagai simbol politik identitas supremasi kulit putih. Pada saat yang bersamaan, di tingkat nasional, politik identitas juga disebut-sebut dalam analisis media terhadap intoleransi yang mewarnai iklim politik Indonesia saat ini. Politik identitas yang awalnya dikembangkan untuk memberdayakan kelompok-kelompok marginal, kini muncul sebagai ancaman terhadap keberagamaan.




Politik Identitas

Gerakan hak sipil tahun 1960-an di Amerika Serikat merupakan masa yang menandai awal munculnya politik identitas sebagai diskursus dan aktivisme politik. Politik identitas menggambarkan orientasi dan aktivitas politik sebuah kelompok yang terbentuk dari karakteristik-karakteristik dan pengalaman sosial yang serupa antaranggotanya, yakni sebagai kelompok yang terpinggirkan atau mengalami berbagai bentuk represi. Marginalisasi dan represi ini bisa berbasis kelas, etnis, ras, agama, gender, orientasi seksual, atau lainnya, dan bisa merupakan kombinasi dari beberapa elemen tersebut.

Politik identitas bertujuan untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial yang termarginalisasi sehingga mereka dapat memperjuangkan kepentingan mereka yang berhadap-hadapan dengan kelompok mayoritas atau dominan.

Salah satu contoh politik identitas adalah dalam gerakan feminisme. Politik identitas sejak 1970-an sudah menjadi bagian penting dari pemikiran feminis. Ia muncul sebagai kritik terhadap marginalisasi perempuan-perempuan nonkulit putih di dalam gerakan perempuan yang berkembang pada era tersebut. Marginalisasi ini terjadi karena ada gerakan-gerakan feminis yang terutama mengusung isu dan kepentingan perempuan heteroseksual kelas menengah-kulit putih dan mengabaikan suara dan pengalaman perempuan dari kelas, etnik, ras, dan orientasi seksual lainnya. Istilah politik identitas ini kemudian digunakan dalam teori feminis untuk mengakui pengalaman opresi yang berbeda-beda yang dialami perempuan dari kelompok-kelompok berbeda.

Namun, politik identitas sebagai strategi gerakan sering mendapat kritik dari berberapa kalangan karena dianggap memecah-belah kepentingan dan solidaritas berbagai unsur yang harusnya bersatu melawan kekuatan yang lebih besar. Misalnya, politik identitas dipandang tidak efektif dalam upaya menumbangkan kapitalisme.

Politik identitas yang sedang mendapat sorotan akhir-akhir ini bukanlah yang mendukung kemajemukan, tetapi yang menyokong pemusatan kepada satu kelompok. Inilah yang dikatakan sedang terjadi di AS dengan bangkitnya politik identitas kulit putih dan di Indonesia dengan makin marak berkembangnya politik identitas agama.

The Other

Ketika seseorang mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu, maka secara bersamaan ia akan melihat kelompok lain sebagai the Other, atau sebagai mereka yang lain dengan saya/kami. Muncullah dikotomi “kami” dan “mereka”. Maka, sebagai contoh, muncullah dikotomi “kulit putih dan nonkulit putih” (di A.S), “Muslim dan non-Muslim” (di Indonesia), “laki-laki dan perempuan” (bisa dibilang di mana-mana). Dikotomi ini bersifat hierarkis. Kelompok yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber kekuasaan berada pada posisi atas hierarki ini dan bisa menerjemahkan kepentingan-kepentingannya ke dalam kekuatan politik untuk memengaruhi kebijakan atau menduduki posisi politik tertentu. Hal ini pun memengaruhi pembentukan kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok-kelompok minoritas dilabel sebagai mereka “yang Lain” atau the Other.

Ketika identitas kelas, etnik, ras, agama, gender, atau lainnya digunakan sebagai legitimasi untuk kekuasaan, maka berbagai bentuk represi akan dikenakan pada kelompok-kelompok dengan identitas lainnya. Oleh karena itu, politik identitas bisa juga dimanfaatkan untuk mempertahankan atau menguatkan kedudukan kelompok mayoritas atau dominan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan.

Mayoritas yang Tertekan?

Dalam berbagai analisis media, kemenangan Trump dikaitkan dengan politik identitas kulit putih yang bangkit kembali di A.S. sebagai respons masyarakatnya terhadap masalah kesenjangan ekonomi dan ketidakpuasan politik serta isu-isu keamanan. Berbagai analisis melihat bahwa multikulturalisme yang sudah berkembang sedemikian pesat di A.S. telah menjadikannya sebagai nilai yang dominan, hingga menyingkirkan nilai-nilai lama yang diasosiasikan dengan budaya masyarakat kulit putih. Lebih jauh lagi, mereka yang hidup di kota-kota besar merasa makin terhempit oleh persaingan ekonomi dengan berbagai etnik minoritas lainnya.

Kebijakan-kebijakan Trump yang berbasis pada politik identitas kulit putih dan eksklusi kelompok minoritas dianggap pendukungnya akan menyelamatkan warga kulit putih dari keterpurukan ekonomi dan memperkuat keamanan negara. Namun, lebih dari itu, kebijakan-kebijakan Trump diharapkan akan mendorong hidupnya kembali nilai-nilai lama masyarakat A.S. yang pernah dominan pada suatu masa, tetapi telah cukup lama mengalami represi di bawah nilai-nilai yang dihasilkan ideologi neo-liberal.

Kaum perempuan kelas menengah kulit putih yang sebelumnya menjadi pendukung Hillary Clinton bahkan merasa lebih aman bersatu di bawah payung ras daripada payung gender, meski di bawah pimpinan seorang presiden yang berpandangan sangat rasis dan seksis serta melecehkan kaum perempuan sekalipun.

Sebagian dari pendukung Trump juga memandang bahwa nilai-nilai agama yang mereka yakini akhir-akhir ini makin terpinggirkan, sementara mayoritas-kulit putih di kota-kota kecil merasa menjadi minoritas di tengah-tengah multikulturalisme masyarakat A.S. Beberapa media A.S. juga melaporkan meningkatnya hate crime terhadap kelompok etnik/agama minoritas di negara itu yang dihubungkan dengan kampanye Trump.

Tampaknya ada kemiripan antara apa yang terjadi di A.S. dengan apa yang sedang dialami di Indonesia. Menarik untuk melihat bahwa di Indonesia pun, keberagaman yang sudah cukup lama ditampilkan pemerintah sebagai identitas bangsa Indonesia, telah merepresi nilai-nilai yang melekat pada kelompok mayoritas agama. Meski Islam merupakan agama mayoritas, gagasan-gagasan syariah Islam banyak mengalami represi karena disubordinasikan terhadap nilai-nilai tentang kebinnekaan yang selama ini diusung pemerintah.

Glodok, Jakarta's Chinatown in the 1950s (Pinterest)
Demokratisi dan desentralisasi yang berkembang pasca-Reformasi telah membuka peluang bagi berbagai kelompok kepentingan, termasuk yang berbasis agama, untuk memengaruhi proses politik. Tak dapat dipungkiri, politik identitas agama yang turut meramaikan pertarungan politik di Indonesia saat ini mengungkap antagonisme ras dan agama yang selama ini terselubungi oleh retorika politik bhinneka tunggal ika.

Di A.S. dapat dikatakan Obama adalah simbol dari the Other. Setelah sekian lama berdiri sebagai negara demokrasi, baru sekali seorang laki-laki kulit hitam menduduki posisi tertinggi A.S. Hal yang merupakan terobosan bersejarah ini, oleh sebagian masyarakat A.S. dirasakan sebagai gangguan terhadap status quo. Sementara itu, di Indonesia, terpilihnya seorang gubernur DKI–Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)–dari kelompok minoritas ras dan agama tentunya merupakan representasi dari the Other yang selama ini dieksklusikan dari arena politik.

Namun, penolakan terhadap kepemimpinan Ahok tidak selalu didasarkan pada alasan ras dan agama, misalnya, ada yang tidak mendukungnya karena berpendapat bahwa Ahok tidak berpihak kepada masyarakat miskin. Di sisi lain, bagi mereka yang memiliki kepentingan politik, kebijakan-kebijakan Ahok dianggap mengancam tatanan lama dan konstelasi kekuasaan. Bukanlah suatu kebetulan kalau bersamaan dengan pandangan kedua, simbol-simbol the Other dan dikotomi Muslim-Non-Muslim serta ketegangan antarras tampak menguat dalam masyarakat Indonesia.

Kebijakan Pengeksklusian

Aspek kunci dalam praktik politik identitas adalah pengekslusian kelompok-kelompok di luar kelompok mayoritas atau dominan. Pengekslusian terhadap kelompok tertentu lazim disebabkan oleh perebutan sumber daya-sumber daya penting dalam masyarakat. Pengekskusian ini mengakibatkan marginalisasi kelompok tereksklusi dari berbagai bidang kehidupan dan institusi formal. Ketika mencapai puncaknya atau dipicu oleh sebuah konteks, politik pengeksklusian ini bisa mendorong tindak kekerasan, seperti pembunuhan dan kekerasan seksual. Sebagai contoh, A.S. dikenal memiliki sejarah panjang pengeksklusikan masyarakat kulit hitam yang diwarnai berbagai bentuk kekerasaan.

Bila rencana kebijakan untuk membatasi imigran sebagaimana yang ditawarkan Trump jadi diwujudkan, ini bukanlah kebijakan antiimigrasi yang pertama di A.S. Negara ini sudah pernah memberlakukan sebuah kebijakan eksklusi masyarakat Cina yang tertuang dalam The Chinese Exclusion Act of 1882. Kebijakan ini menghentikan penerimaan imigran dari Cina ke California karena telah berujung pada persaingan ekonomi antara penduduk kulit putih dan Cina. Sentiment anti-Cina makin memanas pada 1870-an yang ditandai oleh pembakaran dan hukuman mati tanpa pengadilan terhadap imigran Cina yang dilakukan masyarakat.

(Pinterest)
Dalam konteks sejarah Indonesia, sebenarnya pogrom terhadap masyarakat Tionghoa sudah tercatat sejak masa Hindia-Belanda, yakni dalam peristiwa “Geger Pecinan” pada 1740, saat terjadi pembantaian terhadap masyarakat Tionghoa yang selanjutnya menegaskan dikotomi pribumi-Tionghoa. Indonesia pascakemerdekaan diwarnai oleh sejarah panjang pengeksklusian dan segregasi etnis Tionghoa (baik budaya, agama, maupun status hukum). Etnis Tionghoa telah mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti ketika menjadi target saat penghancuran PKI padai 1965 dan pada Kerusuhan dan Perkosaan Mei 1998.

Isu terkait pemimpin non-Muslim dan nonpribumi yang mengemuka saat ini tentunya tidak lepas dari sejarah panjang diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sentiment rasial merambah ke wilayah keyakinan agama dan berdampak pada eksklusi masyarakat Tionghoa dari institusi-institusi politik. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah kesenjangan dan ketidakpuasan masyarakat.

The Fear of Diversity

Kehadiran mereka “yang Lain” yang diberi label Barat, nonkulit putih, Muslim, non-Muslim, homoseksual, ateis, dan lain sebagainya, semuanya bisa membangkitkan  apa yang disebut sebagai fear of diversity, yakni rasa takut yang muncul terhadap keberagaman ketika nilai-nilai kelompok mayoritas atau dominan tidak menjadi nilai utama karena berbaur dengan nilai-nilai lain. Makin mengaburnya sekat-sekat sosial-budaya antarnegara dan tingginya kemajemukan di dalam satu negara telah menghasilkan rasa cemas terhadap dominasi perbedaan. Isu keamanan negara beberapa tahun terakhir dan kondisi ekonomi yang kian mengecewakan makin meningkatkan kecemasan tersebut.

Di A.S. kondisi di atas melahirkan keinginan untuk kembali ke nilai-nilai lama yang pernah dimiliki masyarakat A.S. sebelum multikulturalisme menggeser berbagai nilai lama dan dianggap menjadi penyebab berbagai masalah ekonomi, sosial, dan keamanan. Trump–meski sebuah figur yang kontroversial yang diduga sarat dengan kepentingan pribadi–dengan politik identitas dan eksklusinya, dianggap sebagian masyarakat kulit putih A.S. dapat memehuhi keinginan mereka itu. Di Indonesia, meski tidak bisa dibilang mayoritas, ada kelompok-kelompok yang bereaksi dengan menunjukkan keinginan menyelamatkan nilai-nilai Islami dan menegakkan semacam supremasi agama. Ada pula kelompok-kelompok kepentingan politik yang tentunya tidak melewatkan peluang emas ini dan segera memanfaatkannya untuk melakukan mobilisasi-mobilisasi politik.

Oleh karena itu, politik identitas yang awalnya digunakan untuk memberdayakan kelompok-kelompok marginal, juga bisa mendorong rasa supremasi kelompok. Jika diiringi kekuatan politik, supremasi kelompok ini dapat digunakan untuk melegitimasi dominasi sebuah kelompok terhadap kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Politik identitas berbasiskan supremasi kelompok dalam bentuknya yang paling berbahaya adalah yang melandasi gerakan-gerakan nasionalisme ekstrem atau fasisme dengan pemerintahan yang totaliter, sebagaimana kepercayaaan terhadap supremasi ras asli Jerman digunakan untuk menyokong kekuasaan rezim fasis Hitler.

Pembahasan mengenai supremasi kelompok ini mengingatkan pada perjuangan Sophie Scholl (21 tahun), mahasiswa Jerman dan anggota gerakan The White Rose–sebuah gerakan anti-Nazi–yang pada 1943 dituduh melakukan makar.

Perjuangan Sophie–seorang perempuan penganut Lutheran yang taat, yang menentang kekuasan Nazi Jerman serta pembunuhan terhadap ras Yahudi–telah berakhir di bawah guillotine. Namun, pesan yang dibawakan kisah ini masih sangat relevan dan kian berharga, yakni bahwa supremasi ras dan agama tidak boleh mendapat pembenaran karena akan menghasilkan berbagai bentuk represi dan penindasan dengan melegitimasi kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya.

Kita harus mewaspadai politik identitas yang berbasiskan supremasi kelompok karena hal ini akan menanamkan kebencian antarmanusia pada generasi mendatang. Tak dapat dipungkiri, supremasi kelompok merupakan cikal bakal kekerasan serta kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis SARA dan gender. 


Sumber



Asia-Pacific Human Rights Information Center (2006) Discrimination against Ethnic Chinese in Indonesia [dalam jaringan] <http://www.hurights.or.jp/archives/focus/section2/2006/03/discrimination-against-ethnic-chinese-in-indonesia.html> [29 Desember 2016].

Al-Arian, Sami (2016) How Trump Won: The Rise of America’s False Prophet Middle East Eye [dalam jaringan] <http://www.middleeasteye.net/essays/how-trump-won-rise-america-s-false-prophet-265700153> [26 November 2016].



Ertel, Jacob (2015) Identity, Inc.: Liberal Multiculturalism and the Political Economy of Identity Politics. The Hampton Institute [dalam jaringan] <http://www.hamptoninstitution.org/identity-incorporated.html#.WGTB8lzGsnp> [13 Desember 2016].


Knowles, Eric D. and Linda R. Tropp (2016) ‘Donald Trump and the Rise of White Identity in Politics.’ The Huffington Post [dalam jaringan] <http://www.huffingtonpost.com/the-conversation-us/donald-trump-and-the-rise_b_12584616.html> [18 Desember 2016]. 

Mockaitis, Tom (2016) ‘The Politics of Exclusion.’ The Huffington Post, The Blog [dalam jaringan] <http://www.huffingtonpost.com/tom-mockaitis/the-politics-of-exclusion_b_9287048.html> [13 Desember 2016].

Odessa, Rebecca (2016) Sophie Scholl: The German Who Refused To Be a Nazi. The Wisdom Daily [dalam jaringan] <http://thewisdomdaily.com/german-refused-nazi/> [28 Desember 2016]. 

Picchi, Aimee (2016) Half of Americans Are “Shut Off from Economic Growth”. CBS Moneywatch [dalam jarngan] <http://www.cbsnews.com/news/half-of-americans-are-shut-off-from-economic-growth/> [13 Desember 2016]. 

Stanford Encyclopedia of Philosophy (2016) Identity Politics [dalam jaringan] <https://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/> [8 Januari 2017].

The Economist (2016) Crying Blasphemy in Jakarta, The Persecution of a Christian Mayor in Indonesia [dalam jaringan] <http://www.economist.com/news/asia/21712161-countrys-reputation-tolerance-now-doubt-persecution-christian-mayor> [22 Desember 2016].

West, Cornel (2016) ‘Goodbye, American Neoliberalism. A New Era is Here.’ The Guardian [dalam jaringan] <https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/nov/17/american-neoliberalism-cornel-west-2016-election?CMP=fb_gu> [26 November 2016].

Wikipedia (2016) Discrimination against Chinese Indonesians [dalam jaringan] <https://en.wikipedia.org/wiki/Discrimination_against_Chinese_Indonesians> [27 Desember 2016].

Wikipedia (2016) Identity Politics [dalam jaringan] <https://en.wikipedia.org/wiki/Identity_politics> [24 Desember 2016].

Hopeful and Relieved, Conservative White Evangelicals See Trump’s Win as Their Own’ The Washington Post [dalam jaringan] <https://www.washingtonpost.com/news/acts-of-faith/wp/2016/11/15/hopeful-and-relieved-evangelicals-see-trumps-win-as-their-own/?postshare=61481294872737&tid=ss_fb&utm_term=.cc7852ce82fd> [10 Desember 2016].

Zevallos, Zuleyka (2011) ‘What is Otherness?’ The Other Sociologist [dalam jaringan] <https://othersociologist.com/otherness-resources/> [9 Desember 2016].

No comments:

Post a Comment