Sunday, September 21, 2014

MENANTANG OTORITAS PENELITI:

Catatan tentang buku “Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial,” karya Shulamit Reinharz[i]

(Diterbitkan oleh Women Research Institute, Jakarta, 2005)


What is valid knowledge? Itulah pertanyaan yang mengusik studi feminis. Banyak kajian feminis yang menantang bagaimana ”pengetahuan” itu dicapai dalam penelitan arus-utama dan bersikap kritis terhadap metode-metode yang digunakan. Kritik feminis terhadap metode-metode penelitian konvensional atau arus-utama, terutama terletak pada masalah epistemologi. Para peneliti feminis khususnya mempertanyakan apakah ”objektivitas” dapat dicapai dalam suatu penelitian? Dan selanjutnya, apakah objektivitas memang diinginkan dalam suatu penelitian?

Munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti di atas pada awal dekade 1980, memang cukup mengganggu status quo berbagai bidang ilmu sosial, termasuk sosiologi. Shulmit Reinharz, seorang profesor sosiologi dari Brandeis University, A.S., dalam buku setebal 582 halaman (termasuk daftar pustaka, catatan akhir, dan indeks), yang diterbitkan pada 1992, mengumpulkan dan memaparkan dengan amat perinci––bahkan hampir seperti mendokumentasi––berbagai perkembangan dan pertarungan pemikiran kaum peneliti feminis mengenai metode-metode feminis yang selama ini telah dikembangkan dalam penelitian sosial. Dalam bukunya Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, penulis dengan tekun mengutip beragam sumber untuk mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan penelitian feminis dan pemikiran para peneliti perempuan terdahulu yang kemudian mempelopori munculnya metode-metode feminis. Meski ditulis sekitar 20 tahun yang lalu dan bertepatan dengan era ”Gender and Development” yang melanda negara-negara berkembang pada tahun 1990-an, sampai saat ini pun buku ini masih bisa dikatakan sebagai wacana yang relatif baru bagi penelitian sosial di Indonesia.

Apa itu Penelitian Feminis?
Reinharz mengawali bukunya dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penelitian feminis. Penelitian feminis itu pada awalnya berkembang karena adanya peneliti-peneliti perempuan yang menyadari bahwa perempuan serta pengalaman dan perspektifnya sering diekslusikan sebagai subjek penelitian. Menelusuri pandangan para pendekar penelitian feminis sebelumnya, seperti Maria Mies[ii] dan Ann Oakley[iii], dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada kesepakatan di antara para feminis tentang definisi penelitian feminis. Reinharz mengungkapkan, ”Daripada menyatakan apa itu penelitian feminis, saya memlilih alternatif lain yakni memberi contoh apa saja yang tercakup dalam penelitian feminis...” (2).

Membaca buku ini, setidaknya dapat ditemukan beberapa prinsip atau ciri yang menandai penelitian feminis, seperti diuraikan di bawah.

  1. Menolak positivisme. Penelitian feminis menolak adanya pengetahuan yang bisa dibangun melalui penelitian yang netral, bebas nilai, dan bahwa objektivitas bisa dicapai dalam penelitian. Penelitian feminis sebaliknya justru mementingkan subyektivitas pengalaman personal peneliti dan subjek penelitian. Pengalaman personal individu dipandang menghubungkan individu tersebut dengan persoalan sosial.
  2. Ingin mewujudkan hubungan egaliter antara peneliti dan yang diteliti. Metode penelitian feminis menolak hierarki antara peneliti dan yang diteliti dan pemisahan yang tegas antara objek dan subjek dalam penelitian. Peneliti diharapkan terlibat secara penuh maupun emosional bersama partisipan penelitian.
  3. Bersifat inklusif. Peneliti feminis menganggap komunitas bisa berpartisipasi dalam mendesain, menginterpretasi hasil penelitian, dan merumuskan kesimpulan. Secara ideal, subjek penelitian menjadi penentu dan pemilik penelitian. Di balik prinsip ini sebenarnya adalah penolakan terhadap otoritas suara peneliti dalam menginterpretasi suatu fenomena.
  4. Memiliki sensitivitas gender. Penelitian feminis sensitif terhadap hubungan-hubungan gender dan mengenali adanya ketimpangan kekuasaan yang berbasis gender yang terutama merugikan perempuan.
  5. Menyadari adanya pluralisme. Perempuan tidak dipahami sebagai kelompok yang homogen sehingga penelitian feminis sangat memperhatikan dimensi kelas, etnis, ras, orientasi seksual, usia, dan lain-lain dalam persoalan gender.
  6. Menolak androsentrisme. Peneliti feminis melihat bahwa pada umumnya ilmu sosial (dan ilmu lainnya) cenderung  merepresentasikan sudut pandang laki-laki (androsentris); bahwa kesimpulan yang ditarik cenderung merepresentasikan pengalaman laki-laki dan digeneralisasikan sebagai pengalaman manusia atau sekelompok
  7. berbagai metode yang lazim digunakan dalam masyarakat tertentu, padahal belum tentu merepresentasikan apa yang sebenarnya dialami perempuan.
  8. Mengombinasikan berbagai metode penelitian arus-utama. Penelitian feminis mengombinasikan penelitian arus-utama dan pada saat bersamaan melakukan inovasi-inovasi pada metode-metode penelitian tersebut agardapat lebih menggali dan mengungkapkan masalah gender yang ada.
  9. Memiliki tujuan (agenda terbuka) untuk memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan, antara lain, dalam bentuk terbangunnya pemahaman perempuan tentang situasi dan kondisi mereka, misalnya, kendala-kendala struktural yang selama ini berdampak pada kehidupan mereka dan jalan keluar yang mungkin bisa ditempuh. Pemberdayaan ini mengungkapkan suara para perempuan yang menjadi subjek penelitian dan peneliti sekaligus juga diperberdayakan karena dapat belajar dari pengalaman perempuan tersebut.
  10. Tujuan akhir penelitan adalah perubahan sosial. Perubahan yang dituju penelitian feminis adalah yang akan menghapus ketimpangan sosial, yang memperbaiki keadaan dan posisi perempuan dalam masyarakat. Perubahan ini bisa dalam arti perubahan yang lebih bersifat jangka panjang, seperti perubahan nilai-nilai, atau pun lebih praktis, yakni mengubah suatu kebijakan.
  11. Penelitian feminis berorientasi pada aksi politik. Aksi politik penelitian feminis tidak melulu berarti secara konkret merumuskan suatu rekomendasi kebijakan atau melakukan suatu aksi politik-praktis. Berorientasi pada aksi politik juga bisa mencakup penelitian yang bersifat kritik terhadap wacana dominan, misalnya, yang mengungkap bagaimana wacana tersebut mengukuhkan subordinasi perempuan. Seperti diungkapan Reinharz, “karena feminisme dari definisnya sudah beorientasi pada perubahan, semua penelitian feminis memiliki komponen aksi” (271).
Secara singkat dari prinsip-prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang membedakan penelitian feminis dari pendekatan penelitian sosial lainnya adalah pandangannya bahwa gambaran ilmiah terhadap realitas cenderung tidak lengkap dan mengalami distorsi karena didominasi oleh asumsi-asumsi perspektif yang androsentris. Feminisme melihat bahwa nilai-nilai patriarkat turut membentuk konstruksi dan definisi tentang bagaimana penelitian dilaksanakan dan bagaimana pengetahuan dibentuk.

Metode-metode Feminis
Shulamit Reinharz
Perlu dipahami, menurut Reinharz, bahwa kritik feminis terhadap penelitian arus-utama berangkat dari kritik terhadap hierarki sosial yang menjadi basis hubungan kekuasaan dan androsentrisme dalam penelitian sosial, dan bukan dari penolakan terhadap metode-metode konvensional yang digunakan dalam penelitian sosial. Menurut Reinharz, feminisme adalah suatu perspektif, bukan metode (337). Feminisme, dalam konteks penelitian, merupakan ”perspektif terhadap metode yang ada dalam bidang penelitian tertentu atau perspektif yang digunakan untuk mengembangkan suatu metode inovatif” (337). Apa yang unik dari penelitan feminis adalah keragaman epistemologi dan metode yang digunakan. Untuk menjelaskan hal ini Reinharz mengutip Dale Spender:[iv] ”...di jantung pemikiran feminis adalah pemahaman yang sangat penting bahwa tidak ada satu kebenaran, satu otoritas, satu metode objektif yang mengarah pada produksi pengetahuan murni.” (7).

Mencermati penelitian-penelitan feminis awal, nampak bahwa penelitian tersebut menggunakan metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian arus-utama, seperti metode kualitatif dan kuantitatif. Dalam diskusi mengenai metode-metode feminis telah berkembang pandangan bahwa metode kualitatif lebih sesuai untuk penelitian feminis karena memberi gambaran perinci dan mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Metode kuantitatif dipandang lebih mewakili penelitian yang positivistik. Pertanyaannya yang tertutup, metodologinya yang ketat, dan penekanannya pada netralitas serta penelitian bebas nilai, dianggap tidak bisa mengungkap akar persoalan di balik kondisi perempuan.

Kalau kita melihat ke belakang, memang perdebatan ini muncul di kalangan peneliti feminis Barat, namun sesuai dengan prinsip majemuk (mengombinasikan berbagai metode) dalam penelitian feminis, maka perdebatan ini kian ditinggalkan. Walaupun banyak peneliti feminis yang menganggap ada nilai lebih dari penelitian kualitatif, seperti dalam metode wawancara, namun banyak juga yang menganggap bahwa pendikotomian antara metode kualitatif dan kuantitatif dengan anggapan bahwa kualitatif itu ”lebih feminis”, tidak sepenuhnya benar. Penelitian feminis bukan merupakan penelitian dengan metode yang tunggal (273), tetapi mengombinasi berbagai metode, termasuk di dalamnya metode kuantitatif. Sejalan dengan pandangan ini, peneliti feminis lainnya menganggap bahwa metode majemuk dan interdisipliner adalah yang paling sesuai dengan sifat penelitian feminis yang ingin mencapai pengetahuan baru berdasarkan realitas pengalaman perempuan. Reinharz memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa ada visi ganda dalam penelitian feminis, yakni pada satu sisi menggunakan metodologi yang memenuhi standar keilmiahan dan di sisi lain, tetap dilandasi oleh prinsip-prinsip feminis (127).

Walau menggunakan metode-metode konvensional, inovasi penelitian feminis terhadap metode-metode tersebut yang secara tegas membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitan arus-utama adalah penolakannya terhadap positivisme. Positivisme dianggap sebagai suatu aspek dari pemikiran patriarkat yang memisahkan para sarjana dari fenomena yang sedang diteliti. Dalam konteks ini, menurut Reinharz, penelitian lapangan feminis memiliki peran khusus, yakni menegakkan perspektif nonpositivisme, membangun kembali ilmu sosial, dan menghasilkan konsep-konsep baru menyangkut perempuan (5960).

Prinsip feminis di atas nampak jelas dalam penelitian feminis dengan metode majemuk. Reinharz selanjutnya mengidentifikasi beberapa metode orisinal feminis, baik yang menciptakan metode baru maupun yang menggunakan metode lama dengan cara baru, antara lain, penyadaran, buku harian kelompok, drama, suara penelitian nonotoritatif, percakapan/dialog, identifikasi, dan fotografi atau teknik gambar. Selain itu, ada berbagai perkembangan dalam metode penelitian feminis, seperti penelitian wawancara feminis, etnografi feminis, survei feminis, eksperimental feminis, lintas-budaya feminis, sejarah lisan feminis, analisis isi feminis, studi kasus feminis, dan penelitian aksi feminis. Metode-metode tersebut merupakan metode alternatif yang memiliki fokus pada interpretasi, menyelami latar sosial, dan bertujuan memperoleh pengertian intersubjektif antara peneliti dan yang diteliti (59).

Melihat pada metode-metode feminis yang telah berkembang, jelas bahwa para peneliti feminis ingin mengkritik dominasi otoritas peneliti dalam menginterpretasi suatu fenomena atau gejala. Sebaliknya, mereka ingin menampilkan suara subjek yang diteliti. ”Peneliti feminis mengembangkan ide-ide dengan mengkritik status quo, kemudian mengkritik kritik itu, atau mencari sintesis yang akan dikritik” (336). Mengingat bahwa penelitian feminis dibimbing oleh teori feminis dan karena ada banyak definisi feminisme, maka ”tidak ada ’cara feminis’ tunggal untuk melakukan penelitian” (339).

Beberapa Pikiran Penutup
Mengakhiri bukunya dengan berbagai persoalan yang hadir dalam penelitian feminis, bab terakhir menekankan bahwa perbedaan pendapat tentang apa yang dipandang sebagai penelitian feminis di antara para feminis sendiri tidak perlu ditanggapi sebagai hal yang negatif atau sebagai kelemahan. Hal ini justru menunjukkan bahwa kelompok ini bukanlah kelompok yang seragam (374), mengingat tidak adanya rumusan tentang feminisme yang juga seragam. ”Adanya perbedaan-perbedaan ini menguntungkan karena tidak adanya ortodoksi memungkinkan kebebasan pikiran dan tindakan” (6).

Buku yang layak disebut sebagai reader bagi para mahasiswa maupun praktisi ini menunjukkan bagaimana para feminis dari masa silam hingga awal dekade 1990 redefinisi apa yang menentukan keilmiahan sebuah penelitian sosial.
  







[i]Tulisan ini pernah dipresentasikan pada diskusi buku internal sebuah lembaga penelitian di Jakarta.
[ii]Maria Mies adalah profesor sosiologi di Cologne University of Applied Sciences, German dan penulis beberapa buku klasik feminis, antara lain, Patriarchy and Accumulation on a World Scale (1986). Pada 1979 mendirikan program Women and Development di Institute of Social Studies di Belanda. Ia banyak menyoroti tentang pengembangan pendekatan alternatif dalam metodologi dan ekonomi.
[iii]Ann Oakley adalah profesor sosiologi dan pendiri Social Research Unit di Institute of Education, University of London serta penulis beberapa buku klasik feminis, seperti The Sociology of Housework (1974).
[iv]Dale Spender adalah dosen dan penulis feminis asal Australia. Bukunya yang terkenal, antara lain, The Man Made Language (1980) dan For the Record: the Making and Meaning of Feminist Knowledge (1985).

No comments:

Post a Comment